IHSG vs Inflation, A Long Term View (1984 – 2011)

Karena ada yang bertanya bagaimanakah kinerja IHSG jika dibandingkan dengan tingkat inflasi, mari kita perhatikan chart berikut:

IHSG naik sebesar 55x lipat sementara inflasi yang diwakili oleh harga rata-rata konsumen pada kurun waktu yang sama naik menjadi 12x lipat. A good sign 🙂 Dan itupun belum memasukkan faktor dividen.

Data inflasi diperoleh dari World Economic Outlook (WEO) Databases milik IMF untuk bulan September 2011.

Antara IHSG, Emas, dan Inflasi (Sebuah Perbandingan)

Melonjaknya harga emas belakangan ini menyebabkan banyak orang yang mengalihkan investasinya ke emas. Selama dua dekade terakhir ini memang harga emas mengalami kenaikan yang cukup luar biasa. Sebagai komoditas dengan fungsi pelindung nilai, sejatinya harga emas memang seharusnya meningkat sebanding dengan inflasi. Mari kita lihat perbandingan perubahan harga emas terhadap inflasi:

Terlihat bahwa sampai dengan tahun 1997, tampaknya memang benar bahwa dengan menyimpan emas kita dapat menahan inflasi. Yang menarik, sejak tahun 1998 dan terus berlanjut hingga tahun 2010, emas tampaknya naik secara kumulatif jauh di atas perubahan kumulatif inflasi. Apakah ada kaitannya dengan ancaman ketidakstabilan ekonomi Indonesia yang dipicu oleh krisis moneter 1997?

Sebagai seorang investor saham, tentu kita bertanya-tanya apakah dengan kenaikan harga emas yang begitu pesat, layakkah kita berinvestasi di bursa saham? Mungkin grafik di bawah bisa membantu. Saya menggunakan data tahunan dari tahun 1984 s.d 2010.


Tampaknya IHSG berjalan seiring dengan harga emas (sudah disesuaikan dengan kurs rupiah pada tahun yang bersangkutan). Meskipun begitu, terlihat bahwa IHSG lebih fluktuatif dibandingkan dengan emas.

Tanggung rasanya apabila kita tidak membandingkan ketiga parameter tersebut (IHSG, emas, dan inflasi) dalam satu grafik.


Terlihat jelas bahwa:

  1. IHSG dan emas dapat mengalahkan inflasi.
  2. Walaupun lebih fluktuatif, terlihat bahwa secara kumulatif IHSG mampu untuk mengungguli kinerja emas.

Dengan demikian tampaknya berinvestasi di bursa saham terlihat masih cukup prospektif 🙂

Jangan lupa, nilai IHSG di atas belum termasuk dividen sehingga seharusnya kinerja IHSG lebih baik lagi daripada yang terlihat di grafik.

Tambahan lagi. Seandainya suku bunga deposito adalah sekitar 10% per tahun (mestinya di bawah itu karena ada pajak bunga sebesar 20%). Maka dalam kurun waktu 1985-2010, secara kumulatif kita akan mendapatkan return sebesar sekitar 983%. Angka ini masih di bawah tingkat inflasi kumulatif (1.084%). Masih mau menaruh uang di dalam deposito saja?

Ketika Anda Harus Membayar 100 Ribu Rupiah untuk Sepiring Nasi

Terkadang jika sedang bosan makan siang di kantor, saya pergi ke warteg yang ada di belakang kantor saya. Makanan favorit saya adalah sayur lodeh dengan telur dadar dan ditambah dengan tahu tempe dan sambal. Dengan lauk seperti itu, saya harus membayar sekitar 6 – 8 ribu rupiah. Jika ditambah dengan ayam goreng mungkin harga yang harus saya bayar menjadi sekitar 10 ribu rupiah. Apakah Anda masih ingat berapa harga yang harus Anda bayarkan untuk lauk yang sama 2 – 3 tahun yang lalu. Hampir pasti tentu lebih murah. Mungkin dahulu sepiring makan siang dengan lauk-pauk seperti itu harganya hanya 5 ribu rupiah. Mungkin sampai sini Anda sudah bisa menerka apa yang akan kita bicarakan. Ya, saya ingin berbicara mengenai inflasi. Selama kita menggunakan uang kertas, selama itu pula kita akan menyaksikan harga akan naik setiap tahunnya.

Berikut adalah data tingkat inflasi di Indonesia selama 28 tahun terakhir:

inflation

Sumber: IMF, World Economic Outlook Database, April 2009


Dari tahun 1980 hingga 2008, tingkat inflasi tahunan rata-rata di Indonesia adalah 11,1%. Dalam kurun waktu tersebut, tingkat inflasi tertinggi terjadi pada tahun 1998, yaitu 77,5% yang disebabkan oleh krisis moneter yang melanda negeri ini.

Saat ini mungkin kita sedang dalam masa produktif dan sedang bekerja/berwirausaha. Jika Anda pegawai kantoran, Anda bisa berharap untuk mendapatkan uang pensiun. Pernahkah Anda membayangkan apa yang Anda hadapi saat masa pensiun menjelang?

Katakanlah Anda saat ini berusia 30 tahun. Anda masih memiliki 25 tahun masa kerja sebelum pensiun. Dengan asumsi tingkat inflasi rata-rata adalah 11,1% maka harga sepiring nasi yang sekarang adalah 8 ribu rupiah akan menjadi sekitar 111 ribu rupiah. Terlihat fantastis? Menurut saya itu realistis. Kita baru berbicara masalah makan siang. Jika saat ini kebutuhan hidup bulanan adalah 5 juta rupiah, maka saat Anda pensiun, Anda membutuhkan dana 70 juta rupiah per bulan hanya untuk menjaga agar standar hidup Anda tidak turun. Silakan mencari tahu mengenai program pensiun yang Anda ikuti saat ini. Berapakah yang akan Anda dapatkan saat pensiun nanti. Apakah jumlah tersebut akan dapat memenuhi kebutuhan hidup Anda nantinya?

Sepertinya sebagian besar akan menjawab tidak 😀
Sebaiknya kita jangan menyalahkan pemakaian uang kertas yang menyebabkan inflasi. Akan lebih bermanfaat bagi kita untuk memikirkan bagaimana caranya mengalahkan inflasi. Anda bisa saja merampok bank dan memperoleh uang yang cukup sampai anak cucu, akan tetapi tentu saja tidak disarankan karena Anda bisa masuk penjara :). Cara yang lebih tepat adalah berinvestasi atau lebih tepatnya berinvestasi yang returnnya dapat mengalahkan tingkat inflasi. Investasi apa saja? Banyak alternatifnya. Bisa saham, obligasi, atau mungkin tanah. Return dari instrumen-instrumen tersebut biasanya dapat mengungguli tingkat inflasi. Sebagai contoh, dalam jangka panjang harga saham akan naik sesuai dengan pertumbuhan ekonomi. Logikanya, semakin tinggi tingkat inflasi, maka perusahaan akan dapat menjual barang dengan harga yang lebih tinggi kan? Oleh karenanya dengan adanya inflasi saja harga saham akan cenderung naik.

Bagi saya, investasi saja belum cukup. Kita harus lebih fokus lagi dengan membuat suatu perencanaan investasi agar tujuan-tujuan keuangan kita dapat tercapai. Rasanya petuah orang tua kita dahulu untuk menabung ada benarnya, namun sayangnya dengan menabung saja kita akan kesulitan menghadapi laju inflasi. Mari berpindah dari budaya menabung ke budaya berinvestasi!