Melihat Posisi Indonesia di Dunia (Company Level)

Salah satu fitur di ft.com sejak dahulu telah banyak membantu saya dalam melakukan screening untuk mendapatkan saham-saham yang layak untuk masuk dalam watchlist investasi. Dengan menggunakan screener dari ft.com, kita bisa mendapatkan list perusahaan yang memenuhi kriteria sesuai dengan yang kita inginkan.

Kali ini saya akan mencoba untuk melangkah lebih jauh. Saya ingin meneropong dan membandingkan kinerja perusahaan-perusahaan di Indonesia dan membandingkannya dengan kinerja perusahaan di dunia. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran bagaimana posisi Indonesia pada level perusahaan.

Sumber: ft.com

Apa yang dapat diceritakan oleh tabel tersebut?

Tidak semua negara saya masukkan dalam screening agar analisisnya tidak terlalu melebar. Saya menggolongkan negara-negara dalam beberapa kelompok.

  1. Negara maju, yang diwakili oleh US, Jerman, dan Inggris
  2. Emerging countries, yaitu BRIC (Brazil, Rusia, India dan Cina). Seperti yang kita tahu, negara-negara tersebut diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia.
  3. Negara tetangga, yang diwakili oleh Malaysia dan Singapura.
  4. Negara-negara di Eropa yang sedang dilanda krisis, yaitu Yunani (Greece) dan Spanyol.

Apa kesimpulan yang bisa kita dapatkan?

  1. Dari semua negara yang ada di dalam tabel, Indonesia secara persentase memiliki jumlah emiten dengan PER < 20 yang terbilang besar yaitu 50,69%. Sepertinya masih banyak emiten-emiten yang bisa dibilang dijual dengan harga yang cukup murah di Indonesia.
  2. Indonesia juga memiliki persentase emiten dengan growth > 15% yang sangat besar. Dalam tabel tersebut bahkan Indonesia menempati posisi tertinggi.
  3. Yang cukup mengejutkan saya adalah bahwa di Indonesia terdapat 23,17% emiten yang memiliki ROA (Return on Assets) lebih dari 10%. Hal ini cukup menjanjikan mengingat di AS hanya terdapat 12% dan Jerman hanya memiliki 11% emiten yang memenuhi kriteria tersebut. Angka ini bahkan melampaui negara-negara BRIC. (Brazil 15%, Rusia 16%, India 4%, dan Cina 12%). Sepertinya berinvestasi di Indonesia bisa dibilang cukup menguntungkan.
  4. Yang melegakan, terdapat 68,81% emiten di Indonesia yang memiliki DER (Debt to Equity Ratio) kurang dari 1. Hal ini menjadi satu indikasi bahwa emiten-emiten di BEI masih bersikap cukup konservatif dan berhati-hati dalam berutang. Angka ini pun didukung oleh hasil screening yang menunjukkan bahwa hanya terdapat 6,65% emiten yang memiliki DER lebih dari 3.

Kondisi di Yunani dan Spanyol

Hal yang menyedihkan terjadi pada Yunani dan Spanyol yang saat ini sedang mengalami krisis. Di kedua negara tersebut, seperlima emiten memiliki DER lebih dari 3. Angka ini jauh melampaui negara-negara lain. Kedua negara tersebut pun hanya memiliki perusahaan dengan ROA > 10% kurang dari 5% dari total emiten. Hal ini menjadi sebuah konfirmasi bahwa tanpa ada tindakan yang berarti, akan sangat berat bagi kedua negara tersebut untuk keluar dari krisis.

Dari hasil screening tersebut, sepertinya saya masih optimis untuk berinvestasi di BEI ๐Ÿ™‚

The Chicken War: FAST vs PTSP

Pangsa pasar restoran cepat saji di Indonesia memang cukup besar. Meledaknya jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia turut menjadi katalis bagi pertumbuhan bisnis ini. Salah satu jenis makanan cepat saji yang populer adalah ayam goreng. Di BEI, terdapat dua emiten yang bergerak di bisnis ayam goreng cepat saji. Yang pertama adalah FAST dengan lini usahanya, KFC (Kentucky Fried Chicken) dan PTSP dengan lini usaha utamanya CFC (California Fried Chicken).ย  Selain membuka gerai ayam goreng cepat saji (CFC), PTSP juga memiliki unit bisnis lain yaitu Sapo Oriental dan Cal Donuts. Walaupun begitu, jumlah gerai CFC jauh lebih banyak dibandingkan dengan gerai lain sehingga kita anggap core business PTSP adalah restoran ayam goreng cepat saji. FAST sendiri telah berdiri sejak 30 tahun yang lalu, sedangkan PTSP memulai usahanya sekitar 21 tahun yang lalu.

Sebelum mencoba membandingkan kedua emiten tersebut, mungkin ada baiknya kita mencoba melihat besarnya skala operasi mereka. Biasanya info tersebut terdapat pada laporan tahunan. Namun sayangnya mereka belum mengeluarkan laporan tahunan untuk tahun 2010. Oleh karena itu, kita coba untuk melihat laporan tahunan 2009.

Sumber: Laporan tahun FAST & PTSP 2009

Terlihat bahwa jumlah gerai FAST lebih banyak dibandingkan dengan PTSP. Jumlah karyawan FAST pun jauh lebih banyak, yaitu 13.229 orang dibandingkan dengan PTSP yang memiliki karyawan sejumlah 1.838 orang. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa jumlah aset FAST pun jauh lebih besar dibandingkan dengan PTSP (lebih dari 10 kali lipatnya).

Outlet Zooming

Karena sumber pendapatan kedua emiten tersebut adalah gerai-gerai mereka, maka skala operasi keduanya akan terlihat apabila kita mencoba zooming ke level outlet-nya. ย Saat sebuah outlet didirikan, maka biaya untuk membeli bangunan ataupun peralatan produksi akan masuk ke dalam item fixed assets di neraca. Terlihat bahwa outlet FAST secara rata-rata berukuran lebih besar dibandingkan dengan PTSP. Untuk membangung satu outlet, FAST membutuhkan biaya sekitar 510 juta rupiah, sedangkan PTSP hanya membutuhkan biaya sekitar 208 juta rupiah. Coba perhatikan apakah benar outlet KFC rata-rata berukuran lebih besar apabila dibandingkan dengan outlet milik CFC. Tidaklah mengherankan jumlah karyawan per outlet yang dibutuhkan oleh FAST adalah sekitar 36 orang sementara PTSP ย hanya membutuhkan sekitar 9 orang untuk bekerja di tiap-tiap gerainya.

Bagaimana dengan efisiensi operasionalnya?

Dengan revenue sebesar 2,4 triliun rupiah dan fixed asset sebesar 188 miliar rupiah pada tahun 2009, fixed assets turnover (revenue / fixed assets) FAST adalah 13,08x. PTSP sendiri memiliki fixed assets turnover sebesar 5,17x. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa FAST lebih efisien dalam memanfaatkan fixed assets nya untuk memperoleh pendapatan.

Crunching the Numbers

Setelah selesai membandingkan ukuran kedua emiten serta zooming per outlet, mari kita mulai bicara mengenai laporan keuangannya secara korporat.

Sumber: Laporan Keuangan FAST & PTSP (2006 โ€“ 2010)

Terlihat bahwa tidak terlihat perbedaan yang cukup mencolok untuk margin kedua emiten (gross margin, operating profit margin, dan net profit margin). Gross margin PTSP sedikit lebih baik dari FAST (66% vs 56%). Yang cukup menarik perhatian saya adalah ROE dari PTSP yang cukup tinggi yaitu sekitar 43%. Hal ini diakibatkan karena kecilnya nilai ekuitasnya. Sebagai catatan, pada tahun 2006, ekuitas PTSP hanya bernilai 86 juta rupiah dan sampai dengan tahun 2010 akumulasi retained earning-nya masih negatif. Apa artinya? Akumulasi retained earnings negatif bisa ditafsirkan bahwa selama umur hidupnya, PTSP merugi sehingga menggerus nilai ekuitasnya. Untungnya, kondisi PTSP beberapa tahun terakhir mulai membaik dan membukukan ekuitas sebesar 36 miliar rupiah pada tahun 2010. Sementara itu, ROE FAST sendiri selama lima tahun terakhir cukup stabil di kisaran 24% – 25%. Sebuah angka yang cukup bagus.

Hal lain yang cukup menarik dari PTSP adalah penurunan DER yang signifikan selama 5 tahun terakhir. Walaupun terbilang cukup tinggi (1,86), angka ini sudah jauh membaik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Menyimak angka-angka di atas, ada satu kesimpulan yang bisa kita ambil. FAST terlihat cukup baik dan konsisten kinerjanya sementara PTSP sedang berjuang untuk melakukan perbaikan. Karena kinerjanya kurang stabil, tampak bahwa market hanya menghargai PTSP dengan PER satu digit sementara FAST memiliki PER 11x โ€“ 17x.

Bisakah PTSP mengejar ketertinggalannya?

Q-Q Analysis: The Early Anticipation of Growth

Untuk mengetahui kinerja jangka panjang suatu perusahaan, kita biasanya menggunakan data laporan keuangan tahunan. Meskipun dalam jangka pendek harga saham berubah-ubah, namun pada umumnya dalam jangka panjang harga akan mengikuti kinerja dari bisnisnya.

Perusahaan yang bagus akan membukukan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih yang konsisten dari tahun ke tahun. Konsistensi kinerja ini sangat penting karena jika tidak, kita akan mengalami kesulitan dalam memprediksi kinerjanya di masa datang.

Dengan kinerja yang mantap dan visible, tentu akan menjadi kesempatan yang baik bagi seorang investor untuk melakukan pembelian ketika market jatuh. Kejatuhan bursa biasanya menyeret hampir seluruh saham tanpa peduli bagaimana kondisi fundamental masing-masing. Memang ada kalanya kejatuhan bursa saham bersifat sistemik di mana pemicunya adalah memburuknya kondisi ekonomi. Dalam hal ini, kita harus sangat berhati-hati dalam melakukan pemilihan saham. Pilih saham yang kokoh. Laba yang anjlok dalam satu periode tidak bisa menjadi indikasi bahwa bisnisnya juga hancur. Perusahaan yang kokoh akan bertahan dan masih memiliki tenaga untuk meraup laba saat kondisi ekonomi membaik. Kabar baiknya, seringkali kejatuhan bursa sering dipicu oleh kepanikan para pelakunya. Market cenderung untuk bersikap overreacted terhadap memburuknya kondisi fundamental sistemik (keseluruhan) karena takut.

Sayangnya, koreksi market dalam skala yang cukup besar cukup jarang terjadi. Mungkin dalam setahun hanya terjadi satu kali atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Hal ini akan mempersulit kita untuk melakukan pembelian apabila hanya menggantungkan pada terjadinya koreksi di pasar.

Untuk mengatasi hal tersebut, ada cara alternatif yang dapat kita tempuh. Kita dapat mengikuti perkembangan perusahaan dari kuartal ke kuartal dengan membaca laporan kuartalannya. Jika prospek bisnis suatu perusahaan membaik, kita akan dapat dengan cepat mendeteksinya dan melakukan antisipasi lebih dini.

Studi Kasus: United Tractors (UNTR)

Sebagai catatan, jika kita melakukan analisa laporan kuartal, sebaiknya kita membandingkan dengan kuartal yang sama pada tahun sebelumnya. Demand dalam satu tahun akan berbeda-berbeda. Sebagai contoh, perusahaan ritel akan meraup keuntungan besar saat hari raya seperti Lebaran atau Natal. Di bulan-bulan yang lain, omsetnya akan cenderung stabil. Oleh karena itulah dengan membandingkan antar kuartal yang sama dari tahun ke tahun akan memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai kinerja suatu perusahaan.

Terlihat bahwa revenue UNTR tumbuh cukup konsisten dari tahun ke tahun. Yang perlu diwaspadai adalah stagnannya pertumbuhan operating income dan net income sejak dari tahun 2008. Penurunan operating income ketika revenue meningkat menandakan adanya kenaikan COGS ataupun operating expenses. Tentu saja hal tersebut tidak kita inginkan. Kita perlu melakukan penelusuran lebih mendalam mengenai kedua item tersebut.

Kendatipun demikian, konsistennya pertumbuhan revenue UNTR tampaknya direspons dengan baik oleh market. Harga saham UNTR terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun ada hal yang harus kita perhatikan karena di sinilah kunci dari kesempatan kita sebagai investor. Pada Q4 2008 dan Q1 2009, harga saham UNTR anjlok di tengah terus meningkatnya revenue. Walaupun net income UNTR relatif stagnan, hal tersebut belum bisa menjadi justifikasi yang kuat terhadap jatuhnya harga sahamnya. Jika kita yakin bahwa kondisi keuangan UNTR masih solid, tentunya hal tersebut dapat menjadi peluang bagi kita untuk melakukan pembelian. Tentunya setelah kita yakin bahwa harganya masih sesuai dengan hasil valuasi kita.

CPIN: Mulai Bangkit atau Hanya Sekedar Mendapatkan Durian Runtuh?

CPIN merupakan kode di BEI untuk saham PT. Charoen Pokphand Indonesia, Tbk. Core business CPIN adalah produsen pakan ternak, terutama unggas. Unit usaha lain dari CPIN adalah supplier bibit ayam (Day Old Chicks) dan daging ayam olahan. Sebagai market leader di industri ini, sangat menarik untuk menganalisanya.

Operasional dari bisnis ini adalah sebagai berikut:

Sumber: website PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk (http://cp.co.id)

Apa yang menyebabkan saya tertarik untuk mempelajari bisnis dari CPIN ini? Pada tahun 2009, CPIN berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp 1,6 triliun, jauh lebih tinggi daripada perolehan laba bersih tahun 2008 sebesar Rp 254 miliar. Tentu saja sangat gegabah apabila kita hanya memandang peningkatan laba bersih hanya dalam satu tahun kemudian memutuskan bahwa bisnis perusahaan tersebut prospektif. Menyadari hal tersebut, saya mencoba untuk mencari tahu data historis dari laporan keuangan CPIN ini.

Berikut adalah cuplikan angka-angka yang diperoleh dari data historis laporan keuangannya:

Secara mengesankan selama 5 tahun terakhir ini, revenue dan laba bersih CPIN terus mengalami peningkatan. Momentum ini dibarengi dengan turunnya Debt to Equity ratio (D/E ratio) dari 2,92 pada tahun 2008 menjadi hanya 0,82 pada tahun 2009. Ditambah dengan mantapnya Return on Equity (ROE) dari tahun ke tahun, maka kombinasi hal-hal tersebut membuat saya mau tak mau memandang CPIN sebagai sasaran investasi yang potensial. Mungkin hanya satu hal yang agak mengganjal, yaitu profit marginnya yang hanya 11,08% yang seharusnya bisa di-offset dengan pertumbuhan laba bersih ke depannya.

Terbetik pertanyaan dari saya. Apakah yang menyebabkan laba bersih CPIN meningkat begitu drastis pada tahun 2009? Walaupun memang CPIN berhasil membukukan peningkatan laba bersih dari tahun ke tahun, peningkatan perolehan laba bersih tahun 2009 tetap terasa spektakuler (535%). Menilik dari laporan tahunan CPIN tahun 2009, pertanyaan saya mulai terjawab. Salah satu lini usaha CPIN, yaitu pakan ternak membutuhkan jagung sebagai bahan baku utama. Pada tahun 2009 ini, harga jagung mengalami penurunan sehingga mengakibatkan harga pokok penjualan (HPP) menurun. Penurunan HPP ini kontan melesatkan laba usaha (operating income) yang meningkat dua kali lipat pada tahun 2009. Adanya laba kurs semakin mendongkrak laba bersih CPIN.

Sampai di sini, saya terhenti sejenak karena mulai merasa ragu apakah kinerja CPIN semata hanya ditopang oleh penurunan harga bahan baku. Permasalahan akan terjadi apabila harga bahan baku, dalam hal ini adalah jagung mulai naik lagi. Hampir bisa dipastikan bahwa laba bersih CPIN akan tergerus.

OK, saya meneruskan membaca laporan tahunannya. Tampaknya manajemen CPIN menyadari bahwa ada faktor windfall profit (durian runtuh) sepanjang tahun 2009. Hal terpenting yang menarik perhatian saya adalah respon dari pihak manajemen dalam menanggapi hal ini. Keuntungan yang gemuk di tahun 2009 dimanfaatkan oleh perusahaan untuk melunasi utang banknya. Hal ini menjelaskan mengapa D/E ratio mengalami penurunan yang cukup signifikan dan bagi saya hal ini sangat bagus. Utang adalah utang yang mengharuskan kita membayar bunga dan jangan dilupakan bahwa utang harus dibayar. Oleh karena itulah kemauan perusahaan untuk melunasi utangnya menjadi nilai positif di mata saya. Dengan utang yang mengecil, perusahaan akan lebih kuat untuk mengarungi lautan ketika badai datang menerpa.

Untuk lebih meyakinkan, laporan kuartal 1 yang telah keluar menunjukkan bahwa laba dari CPIN masih cukup solid dengan EPS sebesar Rp 136, naik tajam dari laba kuartal 1 tahun 2008 sebesar Rp 43. Jika disetahunkan, EPS CPIN adalah sekitar Rp 544. Selanjutnya, mari kita mulai melakukan valuasi.

Valuasi CPIN
Hasil dari valuasi CPIN adalah sebagai berikut:


Tampaknya dengan harga wajar Rp 4,058, CPIN cukup layak untuk dijadikan sasaran investasi.

Disclaimer is on.

ASII: The Automotive Giant Revisited

Jika kita berbicara mengenai ASII, asosiasi kita adalah suatu kerajaan otomotif terbesar di Indonesia. Walaupun pemikiran itu tidak sepenuhnya benar (di dalam ASII ada perkebunan, bank, dan juga alat berat), tidak dapat dipungkiri bahwa trade mark ASII adalah otomotif. Di saat krisis seperti ini, harga saham ASII terombang-ambing karena badai. Harga sahamnya sempat turun tajam ke 7,100 dan sekarang sudah kembali ke level 12,200. Sebagai catatan, harga saham ASII sempat mencapai rekor tertinggi di 30,100 pada tanggal 14 Januari 2008. Sangat tragis bagi pemegang sahamnya namun sebuah peluang bagus bagi pemburunya.

Bagaimana dengan harga wajar ASII? Tentu kita harus melakukan valuasi sebelum memutuskan untuk mulai berinvestasi. Mari kita mulai. Kalau masih bingung mungkin bisa melihat bagaimana melakukan perhitungan secara lebih detil di sini :

http://parahita.wordpress.com/2008/11/15/bagaimana-cara-menentukan-harga-wajar-saham/

asii_val

Saya memberikan opsi 50% safety margin dengan catatan kondisi market memburuk. Namun 30% safety margin untuk saat ini sudah cukup dan memberikan kita entry level maksimum 13,016 untuk mendapatkan return 18.16% per tahun. Sebenarnya bisa lebih (18,594 tanpa safety margin), sayangnya kita tidak akan pernah tahu apakah perhitungan kita cukup akurat sehingga kita harus memperkecil risiko kita dengan memberikan safety margin. Tentu saja jika kita bisa membeli di harga di bawah itu, return kita akan bertambah besar.


Disclaimer is on

Mitos dan Kebenaran Mengenai Valuasi Saham

Valuasi merupakan seni dalam mengestimasikan nilai dari sebuah saham. Sebagai sebuah estimasi, tentu saja nilai kebenaran dari suatu valuasi sangat bergantung pada asumsi-asumsi yang dipergunakan. Oleh karena itu sangat sering kita jumpai hasil valuasi antar analis bisa berbeda-beda. Penting untuk kita ketahui, ada beberapa mitos yang terkait dengan valuasi ini. Saya mengutip dari slidenya Aswath Damodaran. Salah satu Mbahnya valuasi ๐Ÿ™‚

Mitos 1:Valuasi merupakan pencarian obyektif terhadap nilai wajar saham

Fakta 1.1: Semua valuasi mengandung bias. Yang menjadi pertanyaan, seberapa besar biasnya dan ke arah mana?

Fakta 1.2: Arah bias dan besarnya berbanding lurus dengan siapa yang membayar kita dan berapa besar bayarannya :p

Mitos 2: Valuasi yang baik adalah valuasi yang dapat mengestimasikan nilai saham secara akurat

Fakta 2.1: Tidak ada valuasi yang akurat

Fakta 2.2: Imbal hasil terbesar bagi kita dalam melakukan valuasi adalah saat valuasinya paling tidak akurat (terlalu rendah ๐Ÿ™‚ )

Mitos 3: Semakin kompleks suatu model, semakin bagus valuasi yang dihasilkan

Fakta 3.1 Pemahaman kita terhadap model valuasi berbanding terbalik dengan jumlah input valuasi yang diperlukan

Fakta 3.2: Valuasi yang lebih sederhana seringkali lebih efektif daripada valuasi yang kompleks.

Hal-hal tersebut di atas harus kita sadari sebelum melakukan valuasi. Jangan takut melakukan valuasi karena dengan melakukan valuasi, kemungkinan kita mengikuti kegilaan market akan semakin kecil ๐Ÿ™‚