Kategori Saham III: Fast Grower

Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel-artikel sebelumnya tentang slow grower dan stalwart.

Adalah Peter Lynch dalam bukunya yang berjudul One up On Wall Street yang menjadi sumber penulisan artikel ini.

Saham-saham yang masuk ke dalam kategori Fast Grower adalah favorit dari Peter Lynch karena biasanya memberikan gain yang sangat tinggi yang diistilahkan sebagai tenbaggers (harganya naik hingga 10 kali lipat). Fast Grower adalah saham yang berukuran sedang dan berkembang secara agresif. Yang perlu diperhatikan pada saham-saham fast grower adalah adanya ruang untuk ekspansi. Tanpa itu, pertumbuhannya akan terhambat. Yang harus diingat, risiko berinvestasi di saham-saham fast grower cukup tinggi sehingga harus benar-benar cermat dalam melakukan analisis sebelum membeli.

Apa saja yang perlu diperhatikan saat memilih saham-saham yang masuk ke dalam kategori ini?

  1. Pastikan bahwa produk andalannya memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penjualan.
  2. Perhatikan tingkat pertumbuhannya, jangan sampai melebih 50% karena biasanya tidak bisa bertahan lama.
  3. Perusahaan telah berhasil berekspansi di banyak area. Jika bisnisnya hanya berkutat di satu area (misalnya Jakarta), tunggu hingga ekspansinya merambah ke daerah-daerah lain.
  4. Ada ruang untuk ekspansi. Pertumbuhan perusahaan ada batasnya. Pastikan bahwa perusahaan bisa tumbuh kencang di masa depan.
  5. Pastikan PEG ratio tidak lebih dari 1
  6. Perhatikan tingkat pertumbuhannya dari waktu ke waktu.
  7. Tidak banyak investor institusional yang memegang saham ini dan tidak banyak analis yang membahasnya. Dengan demikian kita bisa membelinya di harga yang cukup murah.

Fast grower adalah saham-saham yang sedang berekspansi secara agresif sehingga mengandung risiko yang cukup tinggi. Waspadai hal-hal berikut yang apabila terjadi, pertimbangkan untuk menjual sahamnya.

  1.  Ekspansinya berhenti.
  2. Hampir semua analis merekomendasikan untuk membeli sahamnya.
  3. Porsi kepemilikan institusi sangat besar.
  4. CEO-nya banyak diliput oleh majalah.
  5. Sudah tidak ada ruang untuk ekspansi.
  6. PER-nya sudah terlalu tinggi (> 40x).
  7. Penjualan menurun.
  8. Ekspansinya menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan.
  9. Manajemennya mengundurkan diri dan bergabung dengan kompetitor.
  10. Terlalu banyak melakukan road show untuk promosi kepada investor institusional.
  11. PER nya berada di level 30x sementara proyeksi pertumbuhan laba bersih ke depan hanya 15-20 persen.

Demikianlah hal-hal yang perlu kita perhatikan apabila ingin berinvestasi pada saham-saham fast grower.

Contoh Penggunaaan Metode Screening Peter Lynch

Pada artikel sebelumnya telah dibahas mengenai bagaimana caranya melakukan screening dengan menggunakan metode dari Peter Lynch, pada artikel ini kita akan berdiskusi mengenai contoh penggunaannya. Perusahaan yang akan akan kita jadikan contoh adalah PT Hanjaya Mandala Sampoerna, Tbk (kode BEI: HMSP). HMSP sendiri merupakan perusahaan yang cukup mature dan merupakan pemain penting pada industri rokok.

LANGKAH 1: Mengklasifikasikan Perusahaan

Berdasarkan laporan keuangan tahun 2006 – 2010, didapatkan  bahwa EPS growth HMSP adalah sebesar 16,13%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HMSP tergolong stalwart.

LANGKAH 2: Tes Untuk Semua Saham

  • PEG ratio. Dengan PER sebesar 19,21 (EOY 2010), EPS growth sebesar 16,13%, dan dividend yield sebesar 5,42%, HMSP memiliki PEG ratio 0,89. Karena PEG ratio HMSP kurang dari 1 maka HMSP lolos dari pengujian ini.
  • Change in Inventory – to – Sales Ratio. Inventory-to-sales ratio tahun 2010 adalah 22,60%, turun dari tahun sebelumnya yang besarnya 24,48%. Karena inventory-to-sales ratio menurun maka HMSP lolos dari pengujian ini.
  • Total Debt – Equity Ratio. Dengan total debt sebesar hanya 87,2 miliar rupiah dan ekuitas sebesar 10,2 triliun rupiah, total debt – equity ratio HMSP hanyalah 0,85% dan tanpa ada keraguan lolos dari pengujian ini.

LANGKAH 3: Test Spesifik Untuk Masing-Masing Kategori

Karena HMSP tergolong perusahaan stalwart, maka dilakukan pengujian spesifik terhadap poin-poin berikut:

  • Sales. Nilai penjualan HMSP adalah 43,4 triliun rupiah, jauh di ambang bawah 827 miliar. Dengan demikian HMSP lolos pada pengujian ini.
  • EPS. Nilai EPS HMSP tahun 2010 adalah 1.465 rupiah per lembar saham dan jelas-jelas tidak negatif sehingga lolos dari pengujian.

Sampai dengan tahap ini dapat dikatakan bahwa HMSP lolos dari screening ala Peter Lynch dan cukup layak dijadikan wahana investasi kita. Tahap selanjutnya adalah bonus dan bersifat tidak wajib.

LANGKAH 4: Kriteria Bonus (Tidak Wajib)

  • Free Cash Flow per Share – to – Current Price Ratio. Nilainya hanya 5,4% dan jauh dari ambang bawah sebesar 35% sehingga tidak lolos dari pengujian ini.
  • Net Cash per Share – to – Current Price Ratio. Nilainya hanya 2,6% dan tidak lolos dari pengujian ini.

Metode screening ala Peter Lynch ini cukup bagus dalam menangkap saham-saham yang potensial. Penggolongan saham berdasarkan pertumbuhannya juga merupakan pemikiran yang bagus karena adanya pembedaan perlakuan dan pengujian untuk masing-masing jenisnya.

Saham-Saham dengan PER dan PBV Rendah

Salah satu cara saya untuk mencari peluang investasi dengan melakukan screening terhadap multiples (misalnya PER dan PBV). Dari hasil screening dengan menggunakan ft.com terdapat saham-saham yang memiliki PER dan PBV relatif rendah. Saya mencari saham-saham yang memiliki PER di bawah 10 dan PBV di bawah 1. Hasilnya, saya mendapatkan 34 saham yang memenuhi kriteria tersebut.

Tantangannya adalah melakukan analisis lebih lanjut apakah perusahaan-perusahaan tersebut memang benar murah atau murahan? 😀

Strategi Investasi Peter Lynch

Salah satu ciri khas dari investor kawakan adalah memiliki falsafah investasi yang sederhana namun susah untuk dilakukan. Begitu juga dengan Peter Lynch, mantan fund manager andalan Fidelity Magellan. Peter Lynch adalah seorang lulusan Wharton yang merupakan salah satu perguruan tinggi yang memiliki program MBA terbaik di US. Yang cukup mengejutkan adalah kesederhanaan falsafahnya dalam investasi saham. Salah satu prinsipnya adalah hanya membeli saham yang dipahaminya. Jika hal tersebut tidak dapat dipenuhi, lupakan saham tersebut.

Walaupun begitu, Peter Lynch juga mengatakan bahwa sering terjadi mispersepsi mengenai prinsipnya tersebut. Hanya karena kita memahami bisnis di balik suatu saham, tidak serta merta kita bisa langsung membelinya. Kita tetap harus memahami kondisi fundamentalnya dan yang terpenting, apakah saham tersebut dijual dengan harga yang sewajarnya?

Pada dasarnya, Peter Lynch membagi saham dalam beberapa kategori:

1.       Fast Growers

Saham-saham yang masuk  ke dalam kategori ini adalah saham-saham yang memiliki pertumbuhan earning jangka panjang yang cukup tinggi (> 20%).

2.       Stalwarts

Saham-saham yang masuk kategori kedua adalah saham-saham yang memiliki pertumbuhan jangka panjang antara 10% – 20% per tahun. Biasanya yang masuk ke dalam kategori ini adalah saham-saham yang mulai mature namun masih memiliki potensi untuk tumbuh.

3.       Slow Growers

Saham-saham yang masuk kategori ini adalah saham-saham yang memiliki pertumbuhan EPS kurang dari 10%. Perusahaan yang masuk ke dalam kategori ini biasanya adalah perusahaan yang mature dengan potensi pertumbuhan EPS terbatas.

4.       Cyclicals

Perusahaan cyclicals adalah perusahaan yang kinerjanya sangat bergantung pada kondisi ekonomi. Contohnya adalah produsen mobil, produsen logam, dan perkebunan.

5.       Turnarounds

Perusahaan yang masuk ke dalam kategori ini adalah perusahaan yang sedang berada dalam kesulitan namun ada tanda-tanda membaik. Jika kita dapat mendeteksinya secara dini, potensi keuntungan yang akan kita dapatkan cukup besar.

6.       Asset Plays

Perusahan yang masuk ke dalam kategori ini memiliki nilai aset yang lebih tinggi daripada yang tercatat di dalam pembukuannya. Menemukan perusahaan jenis ini gampang-gampang susah karena kita harus mengetahui dengan pasti berapa nilai sebenarnya dari aset-aset yang dimilikinya.

Strategi Investasi Peter Lynch: Step by Step

Buku “The Guru Investor” yang dituliskan oleh John P. Reese menjelaskan strategi investasi Peter Lynch secara terperinci. Pada dasarnya, Peter Lynch membagi perusahaan ke dalam tiga kategori. Lho kok hanya tiga? Bukannya di atas dijelaskan bahwa terdapat enam jenis perusahaan? Karena kita ingin menganalisis secara kuantitatif, maka yang paling mungkin dilakukan adalah mengambil hanya tiga kategori saja, yaitu fast growers, stalwarts, dan slow growers. Setelah menggolongkannya ke dalam salah satu dari ketiga kategori tersebut, kita akan melakukan pengujian yang berlaku untuk kesemua saham di dalam kategori tersebut. Setelah lolos, barulah kita melakukan pengujian yang spesifik untuk masing-masing kategori.

Catatan: Ada beberapa pengujian tentang jumlah minimum sales (revenue) yang dinyatakan dalam USD. Kita tidak bisa secara langsung mengkonversikan nilainya ke dalam IDR. Karena revenue berkaitan dengan GDP, maka kita akan mencoba membandingkan GDP US dengan Indonesia. Berdasarkan data IMF, GDP US adalah USD 14.119 miliar sementara GDP Indonesia adalah USD 707 miliar. Dengan kata lain, GDP Indonesia adalah sekitar 5,01% dari GDP US. Oleh karena itu revenue sebesar USD 2 miliar di US setara dengan IDR 871 miliar (USD 2 miliar x 8.700 (kurs USD/IDR) x 5,01%).

LANGKAH 1: Mengklasifikasikan Perusahaan

EPS growth < 10% –> Slow-grower

10% <= EPS growth < 20% –> Stalwart

EPS growth >= 20% –> Fast-grower

LANGKAH 2: Tes Untuk Semua Saham

  • PEG Ratio

Untuk stalwarts dan slow-growers tambahkan dividend yield pada komponen growth :

0 < PEG Ratio <= 0,5 –> Pass – best case

0,5 < PEG Ratio <= 1 –> Pass

PEG Ratio > 1 –> Fail

  • Change in Inventory – to – Sales Ratio

–          Perusahan keuangan atau utilitas –> Pass (tidak dilakukan pengujian)

–          Change in inventory/sales < 0 –> Pass – best case

–          Change in inventory/sales = 0 –> Pass

–          0 <= Change in inventory/sales <= 5% à–>Pass – minimum

–          Change in inventory/sales > 5% –> Fail

  • Total Debt – Equity Ratio

–          Perusahan keuangan atau utilitas –> Pass (tidak dilakukan pengujian)

–          D/E < 30% –> Pass – best case

–          30% <= D/E < 50% –> Pass – normal

–          50% <= D/E < 80% –> Pass – mediocre

–          D/E >= 80% dan perusahaan utilitas –> Pass

–          D/E  >= 80% dan bukan perusahaan utilitas –> Fail

Khusus untuk perusahaan keuangan:

  • Equity – to – Assets Ratio (E/A)

–          E/A >= 5% –> Pass

–          E/A >= 13,5% –> Pass – best case

–          E/A < 5% –> Fail

  • ROA

–          ROA >= 1% –> Pass

–          ROA < 1% –> Fail

LANGKAH 3: Test Spesifik Untuk Masing-Masing Kategori

Untuk Fast-growers:

  • P/E Ratio

–          Sales > IDR 435 miliar dan PER <= 40 –> Pass

–          Sales > IDR 435 miliar dan PER > 40 –> Fail

–          Sales <= IDR 435 miliar –> N/A

  • EPS growth

–          20% <= EPS growth <= 25% –> Pass – best case

–          25% < EPS growth <= 50% –> Pass

–          EPS growth > 50% –> Fail

Untuk Stalwarts:

  • Sales

–          Sales >= IDR 827 miliar –> Pass

–          Sales < IDR 827 miliar –> Fail

  • EPS

–          EPS > 0 –> Pass

–          EPS <= 0 –> Fail

Untuk Slow-growers:

  • Sales

–          Sales >= IDR 435 miliar –> Pass

–          Sales < IDR 435 miliar –> Fail

  • Yield Compared with the S & P 500 Yield (untuk Indonesia bisa menggunakan yield LQ-45)

–          Yield ≥ yield LQ-45 dan ≥ 3% –> Pass

–          Yield < 3% –> Fail

–          Yield < S & P Yield –> Fail

LANGKAH 4: Kriteria Bonus (Tidak Wajib)

Pengujian di bawah tidak wajib namun jika kita menemukan saham yang lolos akan lebih baik.

  • Free Cash Flow per Share – to – Current Price Ratio >= 35% –> Pass – Bonus
  • Net Cash per Share – to – Current Price Ratio

–          30% <= Net Cash per Share – to – Current Price Ratio < 40% –> Pass – Good

–          40% <= Net Cash per Share – to – Current Price Ratio < 50% –> Pass – Better

–          Net Cash per Share – to – Current Price Ratio >=540% –> Pass – Best

Pada tulisan selanjutnya akan dibahas contoh penggunaan screening dari Peter Lynch ini.

Screening Saham dengan Menggunakan NCAV (Net Current Asset Value)

Setelah sebelumnya kita melakukan valuasi dengan menggunakan NNWC (Net Net Working Capital) sebagai filter, kita akan melanjutkan pencarian kita terhadap saham-saham yang memberikan diskon besar-besaran. Teknik yang akan kita bahas masih berasal dari ilmu yang diwariskan oleh Ben Graham, yaitu NCAV (Net Current Asset Value). Sebenarnya NCAV ini mirip dengan NNWC hanya saja pada NCAV kita mengurangi current assets dengan total liabilities kemudian hasilnya dibagi dengan jumlah saham beredar.

NCAV = (current assets – total liabilities) / outstanding shares

Sekilas NCAV ini terlihat lebih agresif dibandingkan dengan NNWC. Jangan terburu-buru menilai. Graham hanya akan membeli saham-saham yang dijual dengan harga maksimal dua pertiga dari NCAV nya .

Seperti juga NNWC, NCAV merupakan gerbang awal bagi kita untuk melakukan analisis terhadap suatu perusahaan. Setelah menemukan saham yang murah menurut kedua metode tersebut, kita tetaplah harus melakukan analisis yang mendalam terhadap saham tersebut.

Mengapa ada saham yang bisa dijual dengan begitu murahnya? Penyebab yang umum adalah bad news dan sentimen negatif investor yang berlebihan. Jangan lupa bahwa market pada waktu-waktu tertentu bisa terlihat terlalu optimis dan pada saat-saat yang lain terlalu pesimis. Saham-saham yang lolos screening NCAV ada kemungkinan hanyalah hasil dari rasa pesimis market yang berlebihan.

Jika kita telah mengetahui harga saham yang wajar dan layak untuk kita beli, lalu kapan kita bisa menjualnya? Ben Graham merekomendasikan untuk menjual saham-saham tersebut ketika kita telah mendapatkan imbal hasil sebesar 50%. Jika keuntungan kita terus melambung hingga 100%, jual separuhnya dan simpan sisanya. Kita akan mendapatkan kembali modal kita dan memiliki saham yang kita dapatkan dengan “gratis”.

Satu hal yang harus kita ingat. Screening NNWC dan NCAV akan memberikan kita saham-saham yang murah namun kemungkinan besar kinerjanya biasa-biasa saja. Peruntungan kita mungkin akan meningkat apabila ternyata ada satu atau dua saham yang memiliki prospek cukup bagus.  Kasus tersebut jarang terjadi. Oleh karena itulah, saya menyarankan untuk mengikuti rekomendasi Graham untuk menjualnya ketika telah memberikan kita keuntungan sebesar 50%.

Melakukan Valuasi dengan NNWC (Net Net Working Capital)

Pada artikel sebelumnya, saya pernah mendiskusikan mengenai cara menentukan harga wajar saham. Pada metode tersebut, penekanan terbesar ada pada prospek perusahaan ke depan dengan mengasumskikan bahwa perusahaan akan terus berkembang. Kali ini kita akan mencoba melakukan valuasi (atau lebih tepatnya screening) dengan memberikan penekanan pada liquidating value dan bukan prospek perusahaan.

Ide dasar dari metode ini adalah menghitung berapa besar nilai aset yang akan diperoleh pemegang saham setelah dikurangkan kewajiban-kewajibannya. Kita akan menggunakan nilai NNWC (Net Net Working Capital) yang dikemukakan oleh Benjamin Graham untuk melakukan valuasi. Formula NNWC adalah sebagai berikut:

Net Net Working Capital = Cash + Short Term Marketable Investments + Accounts Receivable * 75% + Inventory * 50% – Total Liabilities

Apa sebenarnya konsep dari formula tersebut?

  1. Aset yang diperhitungkan hanyalah current assets dan itupun hanya cash, marketable securities, account receivables dan inventory  yang memang cukup likuid.
  2. Account receivable hanya dinilai 75% dari yang tercatat di laporan keuangan karena adanya kemungkinan ada piutang yang tidak bisa ditagih.
  3. Inventory hanya dinilai 50% dari yang tercatat di laporan keuangan karena ada kemungkinan barang dagangan kadaluarsa ataupun ketinggalan zaman. Selain itu, ketika dilikuidasi ada kemungkinan inventory yang tersisa dijual dengan harga murah untuk mempercepat prosesnya.
  4. Aset-aset yang sangat likuid tersebut dikurangkan dengan seluruh kewajiban (total liabilities).

Graham mencoba bersikap sekonservatif mungkin dengan tidak menyertakan fixed assets seperti gedung, mesin dan kendaraan. Dengan demikian jika ada suatu perusahaan dijual di bawah nilai NNWC nya, sangat besar kemungkinan kita mendapatkan harga yang sangat murah.

Perlu diingat bahwa umumya perusahaan yang dijual di bawah NNWC nya jumlahnya hanya dapat dihitung dengan jari tangan.  Apa penyebabnya? Pertama, mencari saham dengan NNWC positif sangat susah. Yang kedua, kita harus mencari perusahaan dengan NNWC per lembar yang cukup besar sehingga dapat melampaui harga sahamnya.

Setelah mencari-cari, sampai saat ini saya hanya menemukan dua perusahaan yang sahamnya dijual di bawah NNWC per lembar saham, yaitu INCI dan LPLI.

Terlihat bahwa setelah dikurangi dengan kewajiban-kewajibannya, harga sahamnya masih diperdagangkan jauh di bawah NNWC nya. Apabila kinerja perusahaan ke depan buruk pun, nilai asetnya masih berpotensi untuk memberikan keuntungan.

Disclaimer is on.

Screening Rutin PER dan PBV (Update 08 April 2011)

Pekan ini nampaknya sudah hampir seluruh emiten LQ45 menerbitkan laporan keuangan FY 2010. Hanya satu emiten yang belum saya dapatkan datanya, yaitu GJTL. Semoga minggu depan sudah tersedia.

Untuk minggu ini, emiten yang telah mengeluarkan laporan keuangannya adalah: BNBR, BUMI, DOID, dan ENRG. Dari keempat emiten tersebut, hanya BUMI yang mencatatkan laba bersih positif dan meningkat cukup signifikan sebesar 64%. Dengan demikian, PER BUMI langsung turun dari 38.08 menjadi 22.85.

Cukup banyak emiten yang memiliki kinerja yang cukup bagus pada tahun 2010 dan bisa kita pilih.

Screening Rutin PER dan PBV (Update 01 April 2011)

Minggu ini tampaknya cukup banyak emiten yang menyampaikan laporan keuangan full year 2010. Di dalam deretan emiten-emiten LQ-45, hanya tertinggal beberapa emiten yang belum menyampaikan laporan keuangannya.

Terdapat beberapa emiten yang sepertinya cukup prospektif yaitu: BBRI, BBTN, MEDC dan UNSP. Laba bersih keempat emiten tersebut tumbuh cukup tinggi yaitu masing-masing sebesar 57%, 87%, 337%, dan 219%.

Mulai minggu ini saya menambahkan kolom baru yaitu pertumbuhan laba bersih selama 1 tahun terakhir. Dengan demikian, kita dapat memantau perkembangan kinerja emiten.

Berikut adalah update data per 1 April 2011: